l |
©Tumblr |
Ketika sang penguasa malam sudah mengudara, saat itulah aku menelusuri jalan setapak diantara rumah-rumah petak yang tak banyak orang tau. Bukan tanpa maksud, ada hal yang harus aku selesaikan. Sembari menunggu sepi, aku menjatuhkan diri di depan salah satu rumah paling ujung sebelum ku dengar sesuatu dari dalam tempat bernaung 3x3 itu. Ratapan seorang perempuan yang kuyakini seorang ibu terdengar nyaring, disambut seruan mungil dari malaikat-malaikat kecilnya yang mengiris hati. Oh Tuhan, ku harap Kau melihat mereka dan kesusahannya.
Tak lama setelah aku berdoa, seorang anak perempuan belia melintas, "gak jelas" gumamnya kearah suara yang menurutku menyedihkan itu. Tampak netranya menatap heran padaku. Aku tersenyum, aku bergeser dari sana dan menghampiri dia, aku tidak tampak menyeramkan 'kan?
Teringat kata salah satu guruku saat pertemuan minggu lalu, beliau berucap jadilah orang Kristen yang bisa diterima, dan inilah kesempatanku untuk menerapkan di lapangan. Aku sapa dia dan kedua sudut bibir kecilnya terangkat. Benar kata orang banyak, seseorang akan menjadi lebih indah dan cantik saat ia tersenyum! Disanalah dimulai percakapan singkat yang tak pernah bisa aku lupakan. "Tetangganya?" tanyaku padanya sambil menunjuk rumah asal suara tadi. Ia mengangguk, "rumah kakakku" katanya. Aku terheran-heran, bagaimana bisa ia bergumam "gak jelas" pada kakaknya sendiri?
Akupun bertanya lagi, "sering berantem kah?" dan ia menggeleng, "engga, baru aja dia angkat jemuran, gak tau tuh kenapa. dia emang suka pukulin anak-anaknya sih" jelasnya. Ah, tidak heran. Lingkungan itu memang memberi kesan tidak enak, kumuh pikirku saat memasuki jalan beraspal yang hanya selebar 2 bahu. Asumsiku pun buruk, tapi terubah oleh seorang gadis belia ini. Aku mengaguminya, ia tampak lebih lembut dan sopan diantara anak-anak yang saat itu lalu lalang di bawah sinar rembulan. Cara berbicara yang pelan, irama dan nada pita suara yang lembut, cara menjawab dan menatap, membuatku nyaman berbincang dengannya. Terlahir dengan nama Nadia, nama yang indah di telinga. Ah sayang sekali aku tidak bisa mengabadikan sosok anak kecil kelas 6 SD itu.
Perbincangan kami berkembang, aku bertanya tentang keluarganya, rupanya Nadia anak yang kuat. Saat ia 2 tahun, ayah gadis ini meninggal sedang ibunya pergi meninggalkan dia,
"iya ibu pergi ninggalin aku, mungkin kerjaan kali, tapi aku kangen ibu".
Aku heran sekaligus terharu, betapa mulia hatinya itu. Ini hal baru untukku, untuk menemukan seorang anak yang kehilangan sosok ibu dan masih memaklumi tindakan bahkan merindukan ibunya dalah hal yang langka di tengah generasi muda yang banyak dijumpai membenci ibunya berkeinginan untuk meninggalkan rumah. Setelah bertanya hal yang jawabannya tak aku pernah sangka, aku tidak enak hati bertanya lebih jauh tentang orang tuanya.
Namun aku bertanya tentang kehidupannya di sini. "Dulu aku bantu nenek jualan di depan, kan dulu nenek jualan. Trus bantuin engkong pindahin barang-barang kalo pindah rumah. Emang cuman pindah satu sampai 2 rumah disebelah rumah lama. Apalagi waktu itu banjir, aku sama adik-adikku ada 3 sama nenek harus tidur di pos sama barang-barang yang banyak". Aku tercengang —memang berlebihan tapi aku benar-benar tercengang! Sebuah kisah hidup yang berat untuk anak perempuan yang bahkan belum bisa dibilang remaja.
"Senang gak tinggal di sini, di lingkungan seperti ini? Apa gak ada keinginan buat pindah dari sini?" tanyaku selanjutnya. Jawabannya sungguh menggelitik, jawaban yang bagiku sudah luar biasa untuk anak berusia sekitar 12 tahun.
"Senang! Benar-benar senang, disini ada nenek, ada engkong, ada kakak, ada temen-temen, daripada pindah aku lebih baik disini, tapi kalo udah besar nanti aku mau bawa nenek engkong sama adik-adik pindah rumah ke rumah yang lebih besar!" tuturnya dengan senyuman lebar.
"Menakjubkan" adalah satu-satunya kata yang bisa aku ucapkan. Meski menjalani hidup yang tak semudah jalan hidupku, ia bisa bersyukur dan bahkan memiliki impian yang besar. Aku malu, dan aku berterima kasih pada Tuhan Yesus yang mengajarkan aku untuk mensyukuri hidupku melalui anak perempuan yang aku awalnya berfikir 'ah tau apa anak ini'.
Air akan terus mengalir, tak peduli tempat apa yang ia lewati. Air tak bisa memilih akan masuk ke penampungan air dan menjadi air bersih, atau masuk ke dalam selokan yang kotor tapi ia tetap mengalir. Air tak dapat mengelak saat menemui batuan, tapi air tak akan pernah berhenti karna batuan itu akan ditembusnya perlahan. Nadia adalah air, tak peduli air apa, ia mengalir dengan kehidupannya yang Tuhan gariskan. Ia tak melawan saat masuk ke selokan yang kotor, ia tak diam ditempat hanya karna dia air bersih, ia tetap melanjutkan hidup.
Nadia si gadis berambut pendek yang aku temui, ia tidak akan pernah berhenti berjuang dengan hidupnya, tak akan pernah pudar senyumnya. Meski terbayang sudah banyak masalah yang terjadi di hidupnya yang belasan tahun itu, ia akan bisa melewatinya, ialah air. Hendaklah kita belajar darinya, tersenyum saat masalah menempa, bersyukur saat hidup memberi kita kesempatan mengeluh.
"20 tahun kedepan, saat kita ketemu lagi, kakak mau lihat kamu udah jadi sesuatu ya, entah pengusaha, entah jadi apa, tapi jangan lupa nyapa kakak ya"
"iya kak, aku pasti bisa, makasih ya kak aku gak bakal lupa kakak"
— — — — — — — — —
Well hello there Piwers!
Gua balik lagi nih bawain satu cerita yang gua alamin sendiri.
Cerita ini based on a true story, so Nadia the girl is real guys! Kira-kira dia udah jadi siswi SMP daerah rumahnya dia
Gua gak melebih-lebihkan inti ceritanya (ya kecuali bahasanya karna gua lagi suka-sukanya nulis teks dengan kalimat bahasa tinggi. Yha)
I really hope this story blessed you, kita di ingetin buat gak mengeluh loh guys. Kerjaan padat, pr banyak, tugas numpuk, belom lagi diomelin nyokap bokap kakek nenek, tetep harus tersenyum dan bersyukur. Oke?!
Ok
I think that's all, kalo cerita ini menginspirasi kalian, atau kalian suka dengan cerita si Nadia ini,
don't forget comment, like, and share okay?!
See you next time byebye 👋